Ekonomi Rakyat Menggeliat di Situ Gunung
Dulu, kalau melakukan trekking ke Curug Sawer, wisatawan musti berjalan kaki mengitari punggungan. Perjalanan dimulai dari pintu gerbang di pertigaan tepat dekat pos Perhutani Kadudampit lalu menerobos sekitar 1,5 jam perjalanan. Kemudian menjejak kaki ke jalan setapak, naik turun, hingga mencapai sudut punggungan. Air sungai memancar dari gunung Pangrango, melewati air terjun setinggi 30 meteran di curug itu, lalu mengalir terus ke arah Sukabumi.
Kini, berkat jembatan gantung perjalanan dipangkas. Suspension bridge sepanjang 243 meter itu memotong jalur, mengantarkan dari punggungan satu ke punggungan lain. Sehingga praktis jarak tempuh dan waktunya lebih pendek. Paling banter hanya butuh 30 menit saja.
Dulu, kawasan wisata alam yang lahannya milik Perhutani ini menawarkan dua destinasi. Pertama, rekreasi tepi danau Situ Gunung dan trekking curug Sawer. Sehari selesai untuk menjajaki dua destinasi itu.
Kini, obyeknya bertambah lagi. Yakni meniti jembatan yang tercatat merupakan suspension bridge terpanjang di Indonesia. Suasana yang ditawarkannya pun berbeda antara siang atau sore dengan malam. Kala malam, juluran lampu LED menyala indah menuai eksotisme tersendiri.
Begitulah, kawasan Situ Gunung saat ini kian diakrabi wisatawan. Media sosial tak hanya mengumandangkan nama Situ Gunung yang berbeda lewat rangkaian foto dan video para netizen. Namun juga menjadi katalisator warga dunia barat dengan penduduk lokal.
Adalah Dede Asad Komarudin, pria setempat mengakuinya, Suspension Bridge Situ Gunung (demikian nama destinasi itu) menarik minat begitu banyak pasang mata. Ia pula sosok yang terlibat dalam proses pembangunan dan pengembangan jembatan gantung selebar 1,8 meter ini.
Pertengahan tahun 2017, dimulailah pembangunan jembatan. Prosesnya memakan waktu cukup lama. Jembatan tidak hanya mengantar ke curug, namun juga memandu ke kawasan kemping mewah berstandar hotel berbintang alias glamping. Glamping ini kemudian melengkapi glamping Tanah Kita yang dikelola Rakata sejak lama.
Kang Dede, begitu ia akrab disapa, berbekal pengalaman membuka kawasan wisata alam dan mengelola glamping, memotori aktivitas rekreasi baru ini. Masyarakat lokal diajak serta. “Warga sini juga yang membangun,” ingatnya.
Sebagai putra daerah, ia merasa bertanggungjawab menghidupkan kegiatan masyarakat. Suspension Bridge dijadikan sebagai episentrum baru wisata Situ Gunung. Destinasi yang ditawarkan pun beragam, selain berkemah dan trekking, juga kafe yang menyajikan hidangan lokal. Anda bisa menikmati pisang dan singkong rebus yang dipanen dari tanah petani setempat. Atau sekadar menyeruput kopi dalam hidangan Americano, Latte, Vietnam Drip, dan ala-ala selayaknya di kota besar. “Kopi robusta diambil dari perkebunan kopi sekitar sini,” terang Kang Dede.
Ketika destinasi ini dibuka resmi pada 9 Maret 2019, para petugas bersiaga menjalankan peran masing-masing. Di jembatan, petugas masuk dan keluar silih berganti memandu pengunjung, komplet dengan peralatan safety berupa sabuk pengaman. Di glamping, setiap insan selayaknya pekerja hotel mulai koki, waitress, house keeping, sampai resepsionis manis melayani tetamu VIP. Di kafe de Balcony, barista hingga waitress memanjakan wisatawan lewat sajian dan menu tradisional bersaji internasional.
Guna memenuhi standar keselamatan bagi pengunjung, kerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dilakukan. Para petugas lapangan rescue berjaga selama jam buka.
Lantas, ketika Anda memasuki area curug, niscaya akan terkaget karena ada pula cemilan lokal macam cireng, gorengan, juga rupa-rupa kuliner kota. Soal harga jangan khawatir digetok. “Harga enggak boleh mahal, enggak mentang-mentang lokasinya jauh (dari kota) lalu harganya dimahalin,” sergah Kang Dede.
Di sini pula, suasananya jauh lebih bersih, rapi, dan tak ada lagi pedagang berkeliaran atau membuka lapak mengganggu pewisata layaknya beberapa tahun silam. “Kami siapkan stand-stand dan tempat tersendiri,” lanjutnya. Hingga terasa sekali perbedaannya dengan jika Anda sempat berkelana ke curug Sawer beberapa tahun silam. Soal bersih ini tak hanya sekadar himbauan, tetapi juga dalam bentuk penyediaan tong sampah di mana-mana.
Warga diberdayakan. Kerajinan tangan setempat diberi tempat. Jadi, lengkap lah segala ragam booth di sana. Bahkan bila Anda lupa membawa jas hujan atau tiba-tiba sandal Anda hanyut, silakan mampir ke booth karya warga.
Lantas, kalau kaki Anda terlalu capek untuk melangkah pulang, ada ojek yang siap mengantar. Dulu ojek-ojek ini seperti tak terorganisir. Kini, mereka punya pangkalan yang apik dan mereka menyatu dalam komunitas. Sawer Community nama kelompok pengojek itu. Sawer tampaknya diambil dari nama air terjun itu.
“Enggak gampang mengajak warga mengerti,” kata Kang Dede. Pendek kata, ketika mensosialisasikan tujuan dari peran wisata sebagai aktivitas penggerak warga, pria kurus ini harus menghadapi banyak pro dan kontra. Bahkan masih terasa sampai hari ini.
Tapi ia tak kurang akal dan ide. Banyak jalan menuju Roma, Kang Dede tak pernah bosan menemui warga, “Ya…kita ngopi-ngopi aja, sambil ngobrol,” sahutnya. Dari proses bersosial itu satu persatu orang mulai sadar. Sesekali ia gulirkan ide, seperti membuka persewaan penginapan milik warga atau menarik angkot untuk mengangkut wisatawan.
Hasilnya perlahan terlihat. “Kalau akhir pekan, ada yang bisa dapat satu juta rupiah dari narik angkot,” kata pria yang kini menjabat sebagai Direktur Utama pengelola Situ Gunung Suspension Bridge itu.
Satu perjalanan baru warga sekitar Situ Gunung terlewati. Sebuah proyek baru tengah disiapkan. Kali ini membuka kawasan anyar bernama Lembah Purba. Titik ini menawarkan curug kembar yang airnya memancar dari kedua sisi. Pesonanya jelas lebih memukau. Bahkan jembatan suspensi telah dibangun sepanjang 223 meter. Lalu, ada trekking yang lebih menantang meniti jalan setapak yang diapit tebing dan jurang.
Kang Dede tersenyum bangga soal destinasi baru ini. Kendati pandemi menghantam, tetapi masih ada asa di wajahnya. Seharusnya jika tak ada bencana virus, foto dan video wisata Lembah Purba sudah malang-melintang di media sosial. “Moga-moga bisa segera menarik wisatawan,” harapnya.
Bahkan danau Situ Gunung yang semula menjadi ikon kini seolah terhalang oleh kehadiran daya tarik suspension bridge. Wilayah ini seperti tak tertata, nyaris tak terlihat perubahannya, bahkan rumah yang terletak di ujung danau sudah tinggal kayu belaka. Hancur ditelan cuaca dan zaman.
Sekali lagi, Kang Dede mengulas senyum. “Tunggu sebentar lagi,” katanya. Maksudnya ia sudah punya rencana membenahi danau indah dengan area kemping seluas 5 hektar itu dalam tempo tak lama lagi. Entah gagasan apa yang ia akan kembangkan di sana, tetapi memang butuh tangan bersih untuk mengelola.
Ekonomi rakyat tengah menggeliat di Situ Gunung. Pusat wisata sekarang ada di suspension bridge. Danau, air terjun, hutan telah memberikan tempat bagi warga untuk menata dan membangun kehidupannya. Hal ini seperti sebuah model pas dan bagus yang layak ditiru untuk pengembangan ekonomi daerah lain. “Oh ya, tempo hari dari Kementerian Desa (Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi) datang ingin bikin proyek percontohan,” sahut Kang Dede.
Prestasi ini bukan akhir dari pencapaian. Benak Dede masih menyimpan banyak hal. Dari pengalamannya di dunia pariwisata memunculkan persoalan sekaligus gagasan baru. Yakni, mengentaskan pendidikan warga ke jenjang lebih tinggi. Gagasannya berupa “sekolah” praktis bagi calon insan pekerja industri pariwisata.
“Mereka kita berikan juga kemampuan berbahasa Inggris. Bahkan juga Arab,” katanya. Kang Dede bahkan tak segan mengundang guru dari luar wilayah. Atau memberdayakan mantan ibu-ibu TKI yang pernah dan mampu berbahasa Arab menjadi guru pula.
Gerakan baru pemahaman akan pentingnya masa depan warga seperti berkelindan di kepala Kang Dede. Mimpinya seperti terus menagih wujud satu-persatu. Di sisi lain, ia juga harus serius dan profesional mengelola landmark anyar pariwisata Sukabumi ini. Termasuk kerja keras mendapatkan sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Envorienment) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai syarat bagi pengelolaan wisata dan perhotelan di era kehidupan baru.
Hasilnya?
“Alhamdulillah sudah tersertifikasi, 100 persen,” tutupnya. (*)