Kopi Gayo di Takengon
Tanoh Gayo atau tanah Gayo tempat bermukimnya danau dan kopi. Kisah kopi Gayo sudah bertahun-tahun hadir di sini. Gayo yang berarti Gunung dalam bahasa Sansekerta. Memang menunjukkan lokasinya yang berada di bagian dari pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari Sumatera bagian utara hingga selatan.
Di tengag pergunungan itu bak sebuah oase ada danau. Danau Takengon. Secara keseluruhan Aceh Tengah didominasi oleh alam pegunungan. Dan tanaman kopi tumbuh subur di situ.
Masyarakat di wilayah ini akrab disebut Suku Gayo. Gayo diserap oleh bahasa Aceh Kuno. Warga tersebut juga kerap disebut urang Gayo.
Manusia, tumbuhan dan alam menyatu di dataran tinggi Gayo. Dari atas terlihat bagaimana ketiganya saling berketergantungan. Urang Gayo betah tinggal di pesisir Danau Lut Tawar, begitu warga lokal menyebut nama danau tersebut. Mereka tinggal di ibukota Aceh Tengah, Takengon. Danau seluas kira-kira 5.470 hektar ibarat pusat kehidupan. Airnya memberi banyak manfaat bagi warga.
Kopi tak hanya sekadar tanaman saat ini di Takengon. Namun merupakan komoditas dan gaya hidup. Apa lagi sejak kopi Gayo memenangkan kompetisi dengan skor cupping tertinggi pada 2010 di Bali, namanya kian melambung dan mendunia.
Konon, akibat hal tersebut membuat permintaan kopi Gayo meningkat berkali lipat. Pasokannya yang terbatas kabarnya sampai membuat muncul produk non Gayo yang dilabeli Gayo. Kemudian harganya pun melonjak pula.
Di Aceh Tengah khususnya di Takengon mudah sekali menjumpai pohon kopi. Tak hanya dibiarkan hidup di pinggir-pinggir jalan, namun juga menghias halaman-halaman rumah. Di perbukitan, di lahan-lahan lain, kopi Gayo tumbuh lebat dan sehat.
Panenan biji kopi dikeringkan, diolah dan dikonsumsi sehari-hari oleh urang Gayo. Sehari seorang warga bisa menghabiskan beberapa gelas kopi. Kedai kopi ada di mana-mana, sekaligus menjadi tempat pertemuan publik.
Kedai-kedai itu tumbuh secara alami menjadi rumah peracik kopi (roastery house). Keahlianwarga meracik kopi adalah proses pengalaman bertahun-tahun. Mereka mungkin pula bereksperimen untuk menghasilkan racikan terbaru dan terbaik. Harus diakui banyak “barista” di Takengon.
Sejarah bercerita tumbuhnya tanaman kopi di Takengon dan sekitarnya tidak lepas dari upaya Belanda menanam kopi. Kebetulan berada di ketinggian sekitar 1.500 mdpl yang cocok bagi tanaman kopi.
Berbagai varietas lahir di tanah kopi ini. Sejumlah itu dijadikan sebagai bahan penelitian pengembangan tanaman kopi. Secara hirarki kopi Gayo adalah jenis kopi Arabica.
Cirinya memiliki rasa yang tidak pahit dengan keasaman yang rendah. Lantas ada sedikit sentuhan rasa manis. Bagi pemula, kopi Gayo lebih cocok dibandingkan dengan jenis kopi lain atau Robusta. Dan karena itu pula lebih kerap diolah dengan bahan lain, misalnya untuk pembuatan cake dan sebagainya.
Kopi Gayo kini mendunia. Kabarnya lebih dari 65 persen merupakan produk ekspor khususunya ke Eropa. Sebut saja Jerman, Swiss, dan Prancis, negara-negara yang warganya dikenal sebagai penggemar kopi. Juga ke wilayah Asia lain seperti China, Korea, maupun Jepang.
Harga per kilo untuk kelas premium bisa mencapai Rp 200.000. Sementara di sekeliling Danau Lur Tawar atau Danau Takengon bermunculan kafe yang menjual kopi Gayo. Olahannya ada yang masih tradisional, tak sedikit yang sudah modern dengan aneka ragam campuran. Cappuccino, Espresso, Americano, banyak lagi.
Di Takengon, kopi adalah bagian dari wisata pula. Terutama yang haus ilmu tentang dunia kopi yang telah berusia lebih dari seabad ini di Aceh Tengah.
Kreativitas pun muncul yakni memadukan kebun dengan kafe terbuka di ladang kopi. Minum kopi di kebun kopi ceritanya. Di kafe-kafe kebun ini suasana lebih terasa dekat dan alami.(*)
KALAU INGIN GLAMPING ADA PILIHAN, YAKNI;