Akhir Pekan Healing di Kaki Pangrango
Beruntung kini telah tersedia akses tol Bogor-Sukabumi. Jika tidak, rasanya malas menghabiskan akhir pekan di Sukabumi. Dan, tujuan paling nyaman untuk menenangkan pikiran adalah di Situ Gunung. Kawasan di kaki gunung Pangrango yang entah kenapa selalu membuat rindu.
Sebenarnya saat ini ada tiga pilihan untuk menentukan lokasi staycation. Mau yang agak mahal dengan fasilitas glamping wah dan perjalanan seru di jembatan gantung atau kemping ala remaja dengan membawa peralatan sendiri di pinggiran Situ Gunung. Pilihan ketiga adalah yang tidak terlalu mewah dengan tenda kemping yang sedikit lebih luas, yang harganya bisa separuh glamping wah.
Tanakita namanya. Yang sempat dipilih anak-anak geng Prediksi ketika melakukan touring Jakarta – Sukabumi. Suasananya lebih membumi. Dan, namanya juga kemping, kamar mandi musti bareng-bareng.
Sebaiknya memesan online terlebih dahulu daripada dadakan. Jika dari Jakarta baiknya lebih pagi, mengingat perjalanan yang butuh sekitar 4-5 jam dan jika penuh, sulit memarkir mobil.
Kalau berempat cukup menyewa satu tenda. Itu pun sudah cukup lega untuk sekadar tempat istirahat. Bahkan masih tersedia pula space untuk meletakkan barang-barang.
Glamping di Tanakita tak perlu bawa barang macam-macam. Malah aman pula hanya bawa badan. Kecuali Anda tak ingin kedinginan, sebaiknya bawa jaket.
Waktu yang pas adalah sampai pada siang hari. Setelah cek in dan menyimpan barang-barang di tenda, sorenya masih sempat menuju ke Situ Gunung. Tapi Situ Gunung bagi sebagian orang lebih pas dikunjungi justru pada pagi hari.
Nah, jika demikian opsi sore di hari pertama adalah menuju ke Curug Sawer. Dari camp Tanakita butuh waktu 45-60 menit berjalan kaki. Tapi kini telah banyak ojek motor. Tarifnya Rp 50.000,- sekali jalan. Badan tinggal duduk di jok motor, kira-kira 20 menit sampai di air terjun.
Namun jalan kaki lebih menarik. Dulu harus naik turun jalan setapak. Sekarang jalanan sudah teratur dan aman. Di Curug Sawer kalau ingin basah-basahan dan sedikit menguji adrenalin, warga lokal menawarkan river tubing. Jeram sungai yang dilalui berasal dari air terjun. Namun debit air tidak terlalu tinggi mengingat sungainya pun tak terlalu lebar.
Curug Sawer di akhir pekan umumnya riuh dan berjubel. Kini pengelola membatasi area sehingga wisatawan tak bisa sampai ke dekat air terjun.
Sepuas berbasah-basah, jika perut mulai meronta minta diisi, area kuliner maupun warung-warung kecil siap menampung. Hanya saja jangan coba-coba mencari makanan khas Sunda, yang ada rata-rata makanan kecil. Kalau pun yang sedikit lebih berat ya mie instan.
Sore berpindah ke malam. Usai mandi dan bersih-bersih, menu makan malam sudah tersaji di area resto terbuka. Ciri khas sajian kuliner Tanakita adalah menu-menu tradisional terutama khas Sunda. Sebut saja nasi liwet, dadar jagung, ayam goreng, tahu dan tempe goreng, tak ketinggalan sambal serta lalapan. Oh ya, kerupuk juga ada di dalam toples. Piringnya pun terbuat dari jalinan rotan yang dialasi oleh kertas.
Di lokasi berkumpul api unggun telah siap menanti. Biasanya tamu disuguhi hiburan musik akustik. Sembari hidangan jagung bakar beserta minuman hangat semacam bandrek pas betul buat mengisi malam.
Pagi tiba, aktivitas hari kedua siap dijalankan. Meski dingin badan tetap minta disiram. Tanakita menyediakan kamar mandi umum yang bersih. Jadi mesti antre, kalau mau agak pagian ketika orang-orang masih berada di tenda.
Kalau hendak sholat, sebuah tenda pleton ala militer disediakan. Air wudhu berada di sampingnya. Sehingga tak perlu ke kamar mandi.
Tak usah khawatir kedinginan, karena air hangat dari water heater dapat dipilih untuk mandi pagi. Atau kalau Anda memilih melakukan aktivitas seperti jalan-jalan ke Situ Gunung, mendingan mandi siang hari.
Hari kedua, Situ Gunung masih teramat pagi. Matahari baru memperlihatkan sinarnya. Namun aktivitas sudah mulai terlihat di danau alami itu. Pedagang dan penjual mie instan dan gorengan telah menyiapkan lapak-lapaknya. Layanan perahu atau rakit pun sudah mulai bersiap.
Di atas air danau masih terlihat kabut tipis, sisa-sisa malam. Perlahan menguap berganti pantulan cahaya mentari yang menimpa permukaan danau.
Puncak Pangrango terlihat di kejauhan. Bau gorengan ikut membuncah, membuai hidung pun memicu perut mulai main keroncong. Murah meriah, hangat dan entah kenapa rasanya enak sekali. Bala-bala tipis dengan konten berisi irisan kol dan wortel. Buat sekadar menjawab tantangan hidung dan perut sih oke saja.
Sekadar mengganjal. Dan, sepuas itu segera kembali ke camp. Agak susah payah menapak jalan aspal yang menjulang. Olahraga pagi ceritanya.
Matahari mulai meninggi. Jalan kaki sekitar 1 km dari danau tadi rupanya menguras tenaga. Buktinya perut kembali bunyi. Alias berarti saatnya sarapan. Untuk paket semalam, Tanakita menyediakan makan malam dan sarapan.
Namun kali ini menu umum; nasi goreng, telur dadar atau mata sapi, ayam goreng, dan beberapa lauk lain. Tetapi rasanya berbeda. Ini nasi goreng kampung yang seperti membuat lidah addict untuk terus mengecap, nambah dan nambah lagi.
Sisa waktu dihabiskan untuk jalan-jalan di kawasan Kadu Dampit, nama desa tempat Tanakita bercokol. Liburan ala staycation yang berbeda dari biasanya. Walau masih ada satu kegiatan yang tertinggal yaitu tawaran mengikuti aktivitas masyarakat setempat. Namun Jakarta telah memanggil untuk kembali.
Ada pengalaman baru. Bahkan kenyamanan yang berbeda dari sekadar berlibur lintas destinasi kota-kota atau atraksi umum lainnya. Berinteraksi dengan alam rupanya terbukti membersihkan seluruh pikiran yang terkotori oleh kejenuhan, sekaligus menyejukkan hati yang sering mengajak stress. (*)