Ubud dan Keswadayaan Budaya
Ubud tak bisa disamakan dengan tempat-tempat lain di Bali. Taruhlah sebagai pembanding, dua obyek wisata utama, Kuta dan Nusa Dua. Kuta berkesan physically wild dan Nusa Dua professionally peaceful, sedangkan Ubud naturally spiritual.
Tak terbilang tempat menarik di Ubud. Kilometer nol-nya adalah Puri Saren Agung Ubud yang sering disebut Puri Ubud, tempat tinggal para raja Ubud dan keluarganya. Raja terakhir Ubud adalah Tjokorda Gde Agung Sukawati (1910—1978). Halaman puri merupakan tempat ditampilkannya pergelaran seni setiap malam.
Ubud juga tempat sejumlah museum dan galeri berdiri, seperti rumah I Gusti Nyoman Lempad yang merupakan salah satu maestro seni asal Bali, Museum Puri Lukisan, Museum Blanco, Museum Neka, dan Museum ARMA.
Berderet-deret tempat makan dengan pelanggan fanatik. Warung Babi Guling Ibu Oka, Bumbu Bali, Terazo, Ary’s Warung, Casa Luna, Café Lotus, Warung Murni, Café Wayan, dan Restoran Bebek Bengil untuk menyebut beberapa.
Ubud adalah surga bagi tamu glamping. Tempat beristirahat dan menginap yang dicari oleh turis-turis yang bosan dengan tawaran hotel pada umumnya. Kondisi alam di Ubud memang sangat sesuai untuk membuka lahan glamping yang natural. Dan pilihannya sangat banyak.
Untuk melindungi taksu Ubud, beberapa aktivitas yang umum dijumpai di daerah wisata, tak ada di Ubud. Tak ada klub malam, tak ada bioskop, dan semua restoran serta kafe tutup sekitar pukul 11 malam. Langkah ini untuk mencegah masyarakat terjerumus hanya dalam urusan duniawi, dan agar tetangga sekitar tidak terganggu dengan bisingnya musik dari klub malam.
Tak juga dijumpai restoran cepat saji atau gerai minuman global karena produk-produknya dianggap tidak sejalan dengan nilai yang dianut masyarakat Ubud. Mal modern juga tidak diizinkan berdiri karena akan mengganggu sistem ekonomi dan hubungan antar personal di masyarakat.
Taksu berkembang karena lingkungan di Ubud menganut tiga filosofi hidup yang disebut Tri Hita Karana, yakni hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, manusia dan lingkungan alam, dan manusia dengan manusia. Filosofi yang dianut kuat untuk semua aktivitas. Tri Hita Karana telah diterapkan secara konsisten dalam hidup keseharian selama berabad-abad.
Antonio Blanco, asal Spanyol, adalah salah satu pelukis yang membuat Ubud terkenal. Dia mendarat di Singaraja pada tahun 1952, namun kecewa karena tak menemukan “surga” di Singaraja karena ketika itu kotanya kotor. Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati kemudian mengundang Blanco untuk datang ke Ubud, bahkan memberinya tanah 2 hektar di Ubud. Karena demikian akrab, keluarga Puri menganggap Blanco tak lagi sebagai orang asing, melainkan sebagai orang Bali.
Ubud didirikan oleh Rsi Markandya, seorang pendeta Hindu India yang datang ke Nusantara sekitar abad ke-11. Dia memberi nama tempat-tempat yang disinggahi di Ubud, seperti Sungai Oos Kiwa (kiri) dan Oos Tengen (kanan) dan bergabung menjadi Sungai Oos, Sungai Ayung, Desa Puwakan, Desa Payogan, Desa Taro, Desa Kedewatan, dan Pura Gunung Lebah.
Jika Rsi Markandya memegang peran penting dalam kelahiran Ubud, maka raja-raja dan keluarga Puri Ubud berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan nilai spiritual dan budaya setempat. Di awal abad ke-20, Puri Ubud secara aktif membuka diri pada budaya luar yang sejalan dengan nilai-nilai masyarakat, dengan cara menerima seniman Barat.
Ubud tetap mengikuti perubahan tanpa kehilangan karakter pentingnya, spirit yang tak dijumpai di tempat lain. Taksu yang meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang. Kehidupan spiritual yang inheren dalam aktivitas budaya dan sosial sebagai elemen pembentuk “DNA Ubud”. Ubud memiliki kemandirian karena menjunjung budayanya. (*)