Mengelola sampah di Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI yang bercokol di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Bogor nyata dalam praktik sehari-hari. Dapat jadi inspirasi.

Berada di kawasan perbukitan yang berkontur, lahan di sana memberi kesuburan bagi beragam jenis tetumbuhan. Ditambah curah hujan yang tinggi. Anda tahu, Bogor yang masih menyandang julukan kota hujan itu punya rekor curah hujan 3.500 hingga 4.000 mm per tahun. Limpah hujan ini turut menyirami tanaman, terutama pepohonan.

Efek subur juga beriringan dengan efek rontok. Subur adalah satu sisi. Sedang sisi rontok menimbulkan persoalan lain. Tanaman beragam ukuran tersebut juga memasok sampah. Bermacam jenisnya, yang paling dominan berupa daun, disusul ranting, lanjut dengan organ tetumbuhan lainnya.

Sebidang tanah di kontur bawah disulap jadi “pabrik” pengelolaan sampah. Produk akhirnya berupa pupuk kompos.

Alam memiliki regulasi sendiri rupanya. Manusia cukup mengikuti dan memfasilitas hukum alami yang terjadi di antara tanaman, zat hara, mikroorganisme maupun suhu.

Pada area seluas 16×8 meter persegi itu dipasang mesin-mesin dengan teknologi sederhana untuk menjalankan proses. Sampah botani ditumpuk, dikeringkan. Lantas masuk ke mesin pencacah guna menghalus partikel beragam ukuran itu.

Lepas dari situ, partikel “dibumbui” hara. Namanya aktivator pengurai sampah organik. Aktivator berupa granula ditebar agar proses penguraian berlangsung.

Di tahap ini, kandungan air umumnya masih tersisa. Biar benar-benar kering, tercampur dan terurai sempurna, masuklah partikel ke mesin berikutnya.

Agaknya ini merupakan sesi paling penting. Yang menentukan sukses tidaknya menjadi pupuk kelak. Maka prosesnya terbilang vital dan kadang butuh waktu lebih dari satu hari.

Tetapi setelah lolos dari babak tersebut, pengelola boleh bergembira. Uraian sampah tadi sudah boleh dijuluki kompos. Mau langsung digunakan pada dasarnya bisa, tetapi belum paripurna.

Sebab masih ada satu tahap akhir yakni penghalusan partikel sekaligus ujung dari proses pengeringan. Perjalanan prosesi sampah menjadi pupuk berakhir di sini.

Namun perjalanan fungsinya masih berlanjut. Dari pabrik berpindah ke kebun. Kebetulan lokasinya persis di sebelah pabrik. Kebun untuk tempat tumbuh berbagai tanaman, beberapa tampaknya berjenis sayuran.

Kompos bikinan pengelola Sekolah Lembaga Yudikatif ini akan bekerja di sana. Memberi nutrisi pada tanaman, meningkatkan ketersediaan unsur mikro, maupun menambah kemampuan tanah menyimpan air.

Yang penting biaya pembangunan dan instalasi pengelolaan sampah seperti ini tidak lebih dari Rp 150 juta. Tergantung dari seberapa besar kapasitas yang diinginkan. (*)

FOOTNOTE:

www.ayoglamping.com mengajak pemerintah, swasta, maupun LSM untuk bergerak bersama dalam bentuk aktivitas nyata. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi: KARTO SARAGIH via email KARTOSARAGIH7@GMAIL.COM atau ANDRA NURYADI via email ANDRANURYADI1@GMAIL.COM